Akal & Adena
Dering ponsel menyadarkan lamunan Adena. Dia mengulurkan
tangannya dan dengan malas membuka notifikasi di layar ponsel.
Arina : Den, hari ini kita mau bolos ke café. Lo mau ikut?
Seperti tersambar listrik bertegangan 1000 watt, wajahnya mendadak
cerah. Senyuman kecil tesungging di bibirnya. Dengan secepat kilat, tangannya
menari-nari di atas keyboard.
Adena: MAUUU! Gue gabut banget di kelas.
Belum sempat menekan tombol kirim, Bu Ira sudah berjalan
memasuki kelas. ‘sialan’ batin Adena. Bu Ira adalah guru IPS yang cukup tegas.
Jika ada yang ketahuan bersalah, dia tidak segan-segan memberi hukuman.
“Selamat pagi! Siapkan selembar kertas, hari ini kita
ulangan.” sapa Bu Ira.
Sebenarnya Bu Ira sudah mengumumkan ulangan IPS dari
seminggu lalu. Tapi, Adena sedang mendatangi konser artis idolanya bersama
Arina dan Mala, sahabatnya.
Lembar soal sudah mulai di bagikan dari meja ke meja.
“Waktunya 120 menit. Mohon di kerjakan dengan baik.”
Dia membuka buku
paket IPS dan membaca ringkasan penting sembari menunggu Bu Ira menaruh lembar
soal di mejanya. Lalu, menghembuskan nafas dengan kasar.
“Baiklah, mari kita selesaikan ini!” ujarnya dengan serius.
Dua puluh menit kemudian, Adena meletakkan pensilnya dan
tersenyum bangga. Dengan percaya diri, dia memberikan kunci jawaban dan lembar
soalnya ke Bu Ira. Jarang sekali dia mengerjakan soal ulangan dengan serius.
Tapi hari ini dia melakukannya.
***
Dua hari setelah ulangan diadakan, Bu Ira membagikan lembar
jawaban yang sudah terdapat tinta merah di kolom nilai. Murid-murid memasang
wajah cemas dan gugup kecuali Adena. Hanya ada gurat cemas disana, tetapi bukan
gurat cemas menunggu hasil ulangan. Hari ini, toko baju langganannya sedang ada
diskon besar dan dia tidak ingin terlambat datang kesana.
“Ini dia, nilai tertinggi kita jatuh pada Adena dan Akal!” suara
Bu Ira membuat anak satu kelas memandang Adena dengan tatapan heran. Dia tidak
sadar bahwa dia sedang menjadi tontonan anak satu kelas. Dengan lihai, dia
mengambil permen karet dan melemparnya tepat ke dalam mulut dan mulai
mengunyah.
“Ekhm,” dehaman bu Ira menyadarkan Adena yang langsung
menyengir canggung.
“Silahkan kalian berdua maju kedepan! Pulang sekolah temui
saya di perpustakaan.”
Akal hanya berdecak sebal melihat kelakuan Adena yang sedang
menggaruk rambut, berpura-pura mengerti.
“Baik, Bu!”
*Bel pulang sekolah*
“DENA!” panggil Arina dan Mala bersamaan.
“Hai kalian! Ayo cepat, kita harus pergi ke toko sebelum barang-barangnya
habis!” mereka berlari ke gerbang sekolah dengan cepat.
Sampai di depan gerbang, seorang laki-laki menatap mereka
dengan tajam. “Tunggu!”
‘kaya pernah liat,’ batin Adena.
“Elo sini!” tambahnya sembari melirik Adena.
“Gue?”
“Di panggil bu Ira,” ujarnya ketus.
Adena melamun, ‘gua inget! dia yang tadi maju ke depan
bareng guakan?’ batinnya.
“Oh iya gue lupa,
gimana nih?” ia menatap kedua sahabatnya bergantian.
“Ada apaan sih?” mereka menatap Akal dan Adena bergantian.
“Kalian berdua duluan aja, nanti gue nyusul.”
“Tapi- ”
Adena sudah berlari ke perpustakaan menemui bu Ira disusul
dengan Akal. Mereka duduk di bangku dengan detak jantung yang belum beraturan.
Bu Ira tersenyum ramah,
“Maaf ya, saya mengambil jam pulang kalian. Ada yang ingin
saya bicarakan--”
***
Gadis berambut coklat muda itu memakai kacamata yang sedang
tenar di kalangan remaja seumurannya. Bibir kecilnya di olesi lip-tint merah
muda dan juga maskara di bulu matanya. Warna kulitnya kontras dengan pakaian
yang ia pakai. Membuatnya terkesan mewah.
“Adena?”
Gadis itu menoleh mencari asal suara. “Eh, Bu Ira? Ko bisa
ada di sini?”
Dia menghampiri wanita muda berumur 30 tahunan yang sedang
duduk tidak jauh darinya. Wanita muda itu menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Bukannya saya yang harus bertanya seperti itu? Anak muda
seperti kamu jarang sekali berada di tempat seperti ini.” Gadis berambut coklat
itu tertawa kecil.
“Saya sering pergi ke tempat yang bersejarah jika ada waktu
luang. Kamu sendiri?” lanjut wanita itu.
“Yah, mungkin setelah bu Ira meminta saya buat ikut lomba, saya
ngerasa itu adalah tanggung jawab saya. Jadi, saya mulai nyari tau tempat-tempat
bersejarah yang menarik buat nambah pengetahuan. Menurut saya, kalau melihat
langsung, saya akan lebih mudah mengingatnya.”
Wanita muda itu tersenyum bangga mendengar ucapan si gadis
berambut coklat. “Saya tau dan saya
tidak pernah ragu dengan keputusan saya.”
***
Lima hari sebelumnya,
“Dena! Kamu kemarin kemana bareng si cowok kacamata itu?”
tanya Arina ketus.
“Kemarin kita nunggu di toko, tapi kamu kelamaan. Jadinya
kita tinggalin deh,” tambah Mala dengan nada sedikit kesal.
Adena tersenyum kecil, “ayo ke kantin dulu, gue ceritain
disana.”
“Kalian mau pesen apa? Sekarang gue yang teraktir, tapi
jangan marah lagi loh.”
Mereka tersenyum kecil. “Gue mau es oreo ya!” ujar Arina.
“Gue es jelly!” sahut Mala.
Adena tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya. Lalu berlari
mengantri dan memesan 2 es favorite sahabatnya.
“Jadi, kemaren gue abis di panggil sama bu Ira. Dia minta
gue buat ikut pelatihan IPS. Nah, pas
gue mau pergi, si cowok kacamata itu nyuruh gue buat fotokopi soal IPS. Terus pas
nyampe disana, ternyata ngantri banget. Jadinya pas sampe di toko, kalian udah
nggak ada.”
“Jadi lo mau ikut lomba IPS?” Mala menyeruput es jelly
kesukaanya.
“Yang gue denger, bu Ira nyuruh gue buat dateng pelatihan aja kok,” Adena
mengibaskan tangannya, tidak peduli.
“Ada-ada aja lo, namanya juga pelatihan pasti buat lomba
lah.”
“Gue juga nggak yakin sih, tapi kenapa gua? Kalian temenin
ke meja bu Ira ya?” mereka mengangguk mengiyakan.
Bu Ira sedang menikmati makan siangnya sembari berbincang
kecil dengan guru-guru lainnya. “Bu Ira,”
“Adena?”
“Bisa kita bicara sebentar, Bu? Ini tentang pelatihan IPS,”
Bu Ira langsung memanggut dan meneguk gelasnya.
“Ada apa, Den?”
Bu Ira mendekati Adena yang sedang berdiri tidak jauh dari
mejanya. “Pelatihan IPS yang ibu bilang kemarin itu untuk lomba?”
“Oh iya, saya lupa bilang ke kamu. Pelatihan IPS itu memang
untuk lomba. Kamu pasti mau nanya kenapa kamu
yang saya pilih?” Adena dan kedua sahabatnya memanggut bersamaan.
“Sebenernya saya sudah tau kalau kamu sering bolos setiap mapel.”
Mereka bertiga saling lirik dan menyengir canggung. “Awalnya
saya pikir, kamu tidak akan mengikuti ulangan saat itu, tapi ternyata tidak.
Saya mengamati kamu saat mengisi lembar jawaban dengan serius. Kamu
mengerjakannya dengan jujur. Dan dugaan saya benar, kamu berbakat. Saya pikir
itu alasan yang cukup kuat buat milih kamu untuk ikut lomba IPS.”
“Lombanya kapan, Bu?” tanya Mala yang ikut menyimak
pembicaraan mereka.
“Minggu depan.”
Mereka saling tatap dan kecewa. Untuk minggu depan, rencana
mingguannya harus dibatalkan. Adena tidak begitu tertarik dengan lomba semacam
itu. Sepertinya, dia harus mencari cara untuk membatalkan lomba itu. Mereka
berjalan ke kelas masing-masing dengan lesu.
“Minggu depan kita batalin jadwal?” Arina menghela nafas
kasar.
“Gue nggak mau ikut lomba. Mungkin gua bakal cari alasan
buat ngundurin diri.”
_-_-_-_-_-_
Ruang aula sudah di penuhi dengan siswa-siswi dengan seragam
yang berbeda-beda. Beberapa guru juga ikut mendampingi mereka. Seorang pria
paru baya berjalan menaiki panggung diikuti dengan suara tepuk tangan yang
bergemuruh. Pria paruh baya itu memakai baju batik dan celana polos. Wajahnya
terlihat ramah tetapi ada gurat tegas disana.
“Selamat pagi, para penerus bangsa!” notasi bicaranya sangat
tegas dan tenang, membuat seisi ruangan itu, memusatkan perhatiannya. “Pagi,
Pak!”
“—Kita berkumpul disini untuk mengadakan kompetisi IPS. Saya
tau, jarang sekali siswa-siswi seperti kalian, berminat di bidang IPS. Tapi
saya cukup bangga melihat puluhan anak yang mau berpartisipasi dalam kompetisi
ini. —”
“Oke, jadi lomba ini dibagi menjadi 3 sesi. Yang pertama adalah
test tertulis dan yang kedua itu test cerdas cermat. Lalu yang terakhir adalah
final —”
Setelah pengarahan, mereka mulai mengambil nomor peserta dan
bersiap untuk test pertama.
Gadis berambut coklat itu, mengisi lembar jawabannya tanpa
ragu. Dia sudah mempelajari semua buku IPS yang sempat di simpannya 2 tahun
lalu. Pensil di tangannya menggerakkan pensil dengan cepat. Matanya menelusuri
satu persatu soal dengan teliti. Tidak jauh dari tempat duduknya, seorang
laki-laki sebayanya sedang membenarkan posisi kacamata. Dia menatap seorang
pria paruh baya berperawakan cina di luar jendela. Tangannya mulai gemetar
menuliskan jawaban. Sorot matanya mulai ragu.
“Waktu tersisa 15 menit. Bagi yang sudah selesai silahkan
kumpulkan ke pengawas dan bersiap untuk test kedua.” Beberapa anak mulai
bangkit dan menaruh lembar jawabannya ke meja pengawas dan berjalan keluar
ruangan. Termasuk si gadis berambut coklat.
Suasana ruangan itu mulai tegang. Beberapa mulai mencoret
jawaban dengan asal. Laki-laki berkacamata itu mulai berkeringat dingin. Lima
menit kemudian, dia melepaskan pensil dari genggamannya dan mengumpulkan lembar
jawaban.
“Oke waktu habis. Sistem penilaiannya otomatis, kalian bisa
istirahat 30 menit sebelum test kedua di mulai. Poin kalian bisa di lihat di
layar depan lima belas menit lagi. Bagi yang tidak memenuhi nilai 7,00 kalian
tidak bisa lanjut ke test kedua. Mohon di persiapkan dengan baik.”
Pria berperawakan Cina itu menghampiri anak laki-laki yang
baru keluar ruangan. “Dengarkan ayah, ayah mau kamu memenangkan lomba ini. Lomba
ini sangat penting. Paham?” tatapan matanya sangat tajam tetapi suaranya sangat
tenang. Membuat siapapun gentar saat menatapnya. Anak laki-laki berkacamata
didepannya mengganguk takut.
Gadis berambut coklat itu dengan asyik menjilat es-krim
coklat favoritenya. Dia menyisahkan satu es-krim di tangan kirinya sembari
celingak-celinguk mencari seseorang. “Akal!” laki-laki berkacamata itu menoleh
dan tersenyum kearahnya.
_-_-_-_-_-_
“Eh, mata empat!”
Akal menatapnya sebal, “udah gue bilang, nama gue bukan mata
empat. Nama gue, a-k-a-l.”
“Gue mau ngundurin diri dari kompetisi. Gue takut
malu-maluin sekolah.” Adena tidak mengubris omelan laki- laki di sampingnya.
“Pulang sekolah lo ada acara?”
Adena menoleh, jantungnya mencelos mendengar pertanyaan itu.
“Enggak ada. Lo mau ngajak gue jalan?” tanyanya sembari menaikan sebelah
alisnya.
“Iya, gue mau ngajak lo kesuatu tempat.” Akal menatap lekat-lekat
wajah wanita di sebelahnya. Ini pertama kalinya Adena merasa takut. Biasanya
dia selalu menang dalam tatapan mata. Entah bagaimana, dia merasa laki-laki ini
memiliki aura yang membuatnya patuh.
“Pulang sekolah, jam 3 sore,” bisikan itu mampu membuat
tubuhnya menegang seketika.
Adena menghela nafas saat keluar dari perpustakaan.
Pelatihan Ips hari ini sangat menegangkan baginya. Laki-laki itu selalu
membuatnya salah tingkah dan canggung. ‘sialan tuh anak, untung dia udah duluan
pulang duluan,’ batinnya sembari tersenyum kecil menatap lantai keramik
berwarna keemasan.
Akal hanya pergi ke kelas untuk mengambil kunci mobilnya
yang tertinggal. Dia mempercepat langkahnya. Sebelum wanita menyebalkan itu
meninggalkan sekolah. dia mau mengajaknya ke sebuah tempat yang akan mengubah
jalan pikir wanita itu. Brug! tubuhnya menabrak sesuatu. Dengan sigap, dia
menopang tubuhnya yang sudah hampir ambruk dengan kedua tangan. Kacamatanya
tergeletak di lantai.
“Mata empat?” suara itu sukses membuat bola mata Akal
membulat. Posisi wajah mereka hanya berbeda 5 centi. Adena menatap kagum wajah
laki-laki di hadapannya. “Kacamata gue dong. Gue nggak bisa liat nih.” Aroma
mint menelisik hidung Adena. “Gimana gue mau gerak? Orang lo nindihin gue
begini!” protesnya.
Tragedi itu sukses membuat suasana diantara mereka menjadi
sangat canggung. Mereka masuk ke dalam mobil berwarna siver dan melesat
meninggalkan sekolah. Akal mengajak Adena ke sebuah acara seminar IPS. Awalnya,
Adena sedikit protes tetapi semakin lama dia mulai menikmati seminar ini. Pola
pikir para sejarawan membuat kalian akan berfikir lebih luas tentang lingkungan
kalian. Akal tersenyum tipis saat melihat wanita menyebalkan di sampingnya
tersenyum antusias ‘hal yang terpenting dalam hidup ini bukanlah apa yang
terjadi, melainkan ada apa dibalik kejadian itu.’
“Gimana? Jadi ngundurin diri?” tanya Akal sembari menaikan
sebelah alisnya.
Adena tersenyum kecil, “nggak akan.” Tetapi, kali ini sorot
matanya tajam dan yakin.
_-_-_-_-_-_
Babak kedua sudah hampir dimulai. Gadis berambut coklat itu
melahap sisa es-krim di tangannya. Dia menatap sampul buku yang pernah
dibelinya 2 tahun lalu. “Akal, lo tau nggak? buku ini gue beli 2 tahun yang
lalu.”Ujarnya sembari tertawa kecil.
“Gue tau kok, dulu lo suka IPS-kan? Tapi lo nggak punya
temen, jadinya lo ngerubah diri dan ngubur semua buku IPS kesukaan lo ya-kan?”
ujar laki-laki berkacamata di depannya sembari mengelap sisa es-krim di
bibirnya.
“LO BISA TAU?”
“Well, padahal gue cuman nebak doang. Soalnya gue juga
pernah ngalamin.” Laki- laki di hadapannya tertawa hambar.
“Lo juga-” ucapan gadis berambut coklat itu terhenti saat
mendengar pengumuman bahwa poin mereka sudah bisa dilihat di layar monitor.
Dengan spontan mereka berlari memasuki ruang aula. Disusul dengan anak- anak
lain.
Mereka saling tatap lalu tersenyum bangga. “Berapa siswa
yang lolos?” tanya seorang wanita muda yang baru saja menghampiri mereka
berdua. “10 orang” ujar mereka bersamaan.
“Tinggian nilai gue dong!” Gadis berambut coklat itu menjulurkan
lidahnya.
Laki-laki berkacamata itu berdecak sebal, “padahal beda dua
poin doang.”
“Peringkat 1 dan 2? Kalian berdua hebat banget!.” Wanita
muda itu tersenyum lebar.
“Kan bu Ira yang ngajarin.” Ujar mereka berdua bersamaan.
Mereka memulai babak kedua dengan cukup serius. Sesi cerdas
cermat ini, membutuhkan peran yang aktif. Sesi ini berbeda, setelah menjawab
pertanyaan, poin yang mereka dapatkan langsung tertera dilayar.
“Agresi militer 2!”
“Bersamaan dengan peyerangan PKI di madiun!”
“Karena mereka datang bersama NICA!”
“Tahun 98!”
“jendral soedirman”
Sahut-sahutan mereka memenuhi ruangan. Pada skor terakhir,
Adena dan Akal seri. Dan hanya 2 orang yang masuk ke final. Dan itu adalah mereka
berdua.
Seusai babak kedua yang cukup mendebarkan itu, gadis
berambut coklat berjalan-jalan di taman belakang untuk menenangkan diri. ‘Gue
masih unggul 2 poin di babak pertama. Kalau di tambah, nilai gue masih lebih
bagus Akal.’ Tanpa sadar, seorang pria berperawakan cina mendekati dirinya.
“Kamu yang akan melawan anak saya?” Gadis berambut coklat
itu sedikit terkejut dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Akal. Kamu yang
akan melawan Akal di babak final?” lanjutnya.
“Oh, jadi om ayahnya Akal? Iya om, saya sama Akal masuk
final.”
Raut wajahnya berubah menjadi dingin dan tajam. “Dengar,
Akal sangat ingin sekali memenangkan lomba ini. Dia belajar tanpa henti dari
pagi sampai larut, saya harap kamu mengerti. Lomba ini juga penting bagi saya,
karena saya juga menyukai IPS. Tetapi saya gagal di babak final, dan saya ingin
anak saya memenangkannya. ”
Gadis berambut coklat itu mendengar setiap kata yang di
lontarkan dengan teliti dan mengangguk paham. “Saya tau kalau Akal sangat
antusias dengan lomba ini. Dia mempersiapkan diri dengan sangat baik. Saya juga
ingin dia menjadi pemenangnya. Tapi apa yang bisa saya lakukan?”
“Kamu sudah unggul 2 poinkan? Tanya pria berperawakan cina
itu yang langsung di sambut dengan anggukan.
“Kalau gitu, kamu harus membiarkannya menjawab pertanyaan
lebih banyak. Kamu nggak masalah jadi nomer 2-kan?” Gadis berambut coklat itu
memanggut dan tersenyum samar.
***
Babak final sudah dimulai. Pertanyaan pertama untuk Akal
sudah di jawab dengan sempurna. Giliran Adena, dia pura-pura menggaruk
rambutnya dan menjawab sealah kadarnya. Lawan mainnya menatap tajam. ‘Dia nggak
bisanya kaya begini,’ batin Akal.
Pertanyaan kedua dilontarkan untuk Akal. Dengan ragu, Akal
menjabarkan jawabnnya sembari menatap Adena. ‘Apa-apaan sih?’ batinnya setelah
mendengar menjabaran Adena saat menjawab.
‘Pasti ada yang nggak beres nih.’ Batinnya lagi. Pertanyaan
ketiga cukup sulit, dia menjabarkannya dengan patah-patah. Tetapi itu jawaban
yang sempurna. Pertanyaan untuk Adena mulai di ucapkan. Adena menatap lawan
mainnya dengan ragu. Dia menjawabnya dengan lengkap. Tetapi, dia sengaja
melewatkan poin pentingnya.
Pertanyaan keempat mulai di lontarkan. Akal mulai kehilangan
kesabaran. Kali ini dia menyalahkan jawabannya. Pria berperawakan cina itu
menggeram marah dari bangkunya. Akal tidak mengubrisnya sedikitpun. Otaknya
sudah penuh dengan pertanyaan yang akan di lontarkan kepada Adena.
“ADENA! KITA HARUS BICARA!” suara itu sontak membuat Adena
gentar dan membuat seluruh ruangan menatapnya. Adena melihat sosok Akal yang
sedang bicara dengan juri dan mereka mengizinkan untuk beristirahat 5 menit.
“Gue tau, pasti lo ada masalahkan? Gue tau kalo lo udah
sengaja nyalahin jawaban biar gue menangkan?”
“Ng-nggak kok.”
“Gue nggak mau ngelanjutin lomba ini kalo elo nggak jawab
pertanyaan dengan benar. Kenapa? Ayah gue? Nggak usah di pikirin. Dia itu
terobsesi sama kekalahannya. Gue minta tolong sama lo buat percaya sama gue.
Kali ini aja! Gue nggak mau menang kalo nggak murni. Per-cu-ma. Tolong, hargain
kerja keras gue, Den.”
Adena seolah olah tertusuk ribuan pisau, kalimat panjang
lebar yang di katakan oleh Akal membuatnya merasa sangat bersalah. Dengan
sekuat tenaga, dia menganggukan kepalanya dan tersenyum tulus.
“Maafin gue ya.”
“Gue akan maafin lo, kalo lo
ngejawab pertanyaan dengan jujur. Bukan di salah-salahin.” Ujar Akal
sembari mengacak-ngacak rambutnya.
Dia memeluk Akal dengan erat. “Ayo kita selesaikan lomba
ini.”
Pertanyaan keempat dan kelima untuk Adena kini dijawabnya
dengan benar.
‘If you don’t know history, then you
don’t know anyting.
You are a leaf that doesn’t know it
is a part of a tree.’